“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang” (QS Al-Hujurat: 12).
Ali
bin Husain meriwayatkan, Shafiyah binti Huyai, istri Rasulullah Saw.,
memberitahukan kepadanya bahwa Nabi Saw. pernah
beri’tikaf di dalam masjid. Shafiyah bercerita, “Lalu aku mendatangi
Nabi dan berbicara kepadanya. Setelah sore, aku pun kembali lalu Nabi Saw.
berjalan bersamaku. Di tengah jalan kami berpapasan dengan dua orang lelaki
Anshar sambil mengucapkan salam. Kedua lelaki itu terus berjalan, tetapi Nabi
Saw. memanggil keduanya, lalu berkata, “Sesungguhnya dia adalah Shafiyah binti
Huyai.” Kedua orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak berprasangka
kepadamu, kecuali kebaikan.” Nabi Saw. bersabda, “
“Sesungguhnya syetan mengalir pada peredaran darah tubuh
anak Adam, dan sesungguhnya aku khawatir syetan akan masuk pada kalian berdua” (HR Bukhari dan Muslim).
Salah satu bentuk kasih sayang Rasulullah Saw. kepada
sahabat dan umatnya diungkapkan melalui kekhawatiran beliau akan munculnya
sifat su`uzhzhan (buruk sangka) seorang Muslim kepada Muslim lainnya. Sebagai
seorang rasul, beliau Saw. sangat memahami seluk-beluk kejiwaan manusia. Bahkan
beliau bisa membaca kemunafikan seseorang melalui gerak-geriknya. Oleh karena
itu, sebelum kedua lelaki itu terpedaya oleh bisikan syetan yang tipu dayanya
sangat halus dan tidak terasa, beliau memanggil dan menasehati kedua sahabatnya
itu agar tidak su`uzhzhan kepada sesama Muslim.
Su`uzhzhan adalah salah satu penyakit
jiwa yang amat berbahaya karena dapat memecah belah persatuan dan kesatuan
umat. Penyakit ini pernah melanda sebagian shahabat dalam peristiwa haditsul
ifki (berita bohong) yang menyudutkan istri beliau, ‘Aisyah. Menurut berita
itu, ‘Aisyah melakukan penyelewengan dengan Shafwan bin Mu’aththal ketika ia
tertinggal dalam perjalanan perang untuk menghadapi Bani Mushthaliq.
Berita bohong itu sengaja disebarkan oleh Abdullah bin
Ubay, tokoh munafik, yang tidak suka kalau pasukan Islam meraih kemenangan demi
kemenangan. Seperti peredaran darah dalam tubuh manusia, berita itu pun cepat
menyebar hingga menimbulkan keresahan di kalangan sahabat. Mereka saling curiga
satu sama lain. Bahkan hampir saja terjadi perkelahian antara suku Aus dan
Khazraj, kalau saja Rasulullah Saw. tidak meredamnya
Keluarga besar Abu Bakar ra., ayah ‘Aisyah, pun sempat
dibuat kalang-kabut. Mereka dituduh seolah-olah tidak mampu mengajari anaknya
dengan akhlak yang baik. Begitupun keadaan Nabi Saw. Tubuh beliau lunglai,
seolah-olah baru saja menerima wahyu yang amat berat. Namun, kabut hitam itu
pun berlalu dengan turunnya QS An-Nur: 11 yang mementahkan berita bohong
tersebut.
Setelah wahyu turun, Rasulullah Saw. mengumpulkan para
shahabatnya dan menjelaskan tentang berita bohong itu. Mereka menangis saling
berangkulan dan saling meminta maaf atas peristiwa yang hampir saja
menghancurkan mereka. Matahari kembali bersinar terang. Kehidupan kembali
normal seperti biasa.
Larangan berburuk sangka dan dampak negatifnya bagi
persatuan umat ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur`an al-Karim,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing
sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang” (QS Al-Hujurat: 12).
Jangan
Memancing Seseorang untuk Su`uzhzhan.
Dalam kisah lain, Umar bin Khaththab ra. melewati seorang
laki-laki yang sedang berbicara dengan seorang
wanita di pinggir jalan. Umar lalu meneriaki kedua orang itu dengan kata-kata
yang mengarah kepada perbuatan keji. Lelaki itu berkata, “Wahai Amirul Muslimin,
sesungguhnya dia itu adalah istriku.” Umar ra. berkata, “Kalau begitu, mengapa
kalian tidak mencari tempat yang tidak dilihat banyak orang?”
Lalu
Umar ra. menambahkan,
“Siapa menempatkan dirinya pada posisi yang
mengundang tuduhan, maka jangan mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya”
(Said Hawwa, Mensucikan Jiwa, hal. 565).
Kisah
ini hampir sama dengan kisah pertama di atas, akan tetapi memiliki hikmah yang
berbeda. Hikmah dari kisah ini adalah setiap Muslim harus hati-hati dengan
sikap atau perilaku yang mengundang su`uzh zhan dari Muslim lainnya.
Setiap Muslim harus pandai-pandai menempatkan dirinya pada posisi yang tidak
mengotori kebersihan dirinya sebagai orang beriman. Oleh karena itu, Rasulullah
Saw. menyuruh kita agar selektif dalam mencari teman bergaul. Su`uzhzhan
adalah perbuatan buruk, akan tetapi memancing seorang Muslim untuk su`uzhzan
kepada saudaranya juga sama buruknya.
Di
abad yang dikatakan modern seperti sekarang ini, interaksi sosial di tengah-tengah
masyarakat boleh dikatakan sangat kompleks dan multidimensi. Frekuensi kontak
sosial begitu intensif dalam spektrum yang amat luas. Dalam kondisi seperti
ini, seorang Muslim harus mampu mengarahkan dan mengubah segala bentuk komunikasinya dengan masyarakat menjadi
komunikasi dakwah. Interaksi sosial yang dilakukannya dengan berbagai lapisan
masyarakat harus diniatkan sebagai perluasan ladang dakwah.
Dalam
ranah politik misalnya, seorang Muslim seharusnya mampu mengubah komunikasi
politiknya menjadi komunikasi dakwah. Kalau tidak, maka segala tindak-tanduknya
akan mengundang kecurigaan dari Muslim lainnya. Seolah-olah dia hanya
memanfaatkan momentum politik untuk memenuhi kepentingan pribadinya.
Sekarang
ini kita menyaksikan hampir sebagian besar tokoh politik di Indonesia menggunakan pendekatan
politik kekuasaan dan politik uang dalam langkah-langkahnya. Mereka melakukan
pertemuan untuk bargaining, deal, dan tawar menawar posisi. Masyarakat
dibuat bingung. Karena dua orang tokoh politik yang dulunya bersaing dan saling
menjatuhkan, tiba-tiba bertemu dalam satu meja untuk membuat kesepakatan
“damai”. Kalau tidak mendapatkan
kekuasaan, uang pun jadilah.
Dalam
suasana seperti itu, cara pandang masyarakat yang hitam putih, sulit
membedakan, tokoh politik Muslim mana yang sedang melakukan komunikasi dakwah
dan mana yang sedang melakukan tawar menawar jabatan. Kedekatan politisi Muslim
yang dikenal bersih di masyarakat dengan politisi kotor tentu saja akan
memunculkan desas-desus yang dapat membuat keretakatan di antara barisan kaum
Muslimin.
Begitu
juga dalam aspek seni dan budaya. Kedekatan seorang Muslim, apalagi juru
dakwah, dengan kehidupan para selebritis misalnya, harus mampu dijelaskan bahwa
apa yang dilakukannya itu adalah dalam rangka mendakwahi mereka. Sehingga
diharapkan kesenian dan kebudayaan tidak disimpangkan atau diselewengkan ke
arah yang salah.
Dua
kisah di atas mengajarkan kita pada sikap tawazun (seimbang). Setiap
Muslim harus mengedepankan sikap husnuzhzhan (baik sangka) kepada Muslim
lainnya, selama yang dilakukan Muslim tersebut bukan pekerjaan yang disepakati
kemaksiatannya. Seorang penyair berkata, “Mata yang ridha mengabaikan setiap
aib. Akan tetapi mata yang benci akan menampakkan segala keburukan.”
Sebaliknya,
setiap Muslim harus hati-hati dalam melakukan langkah dakwahnya. Jangan sampai
inovasi atau terobosan dakwah yang dilakukannya menimbulkan keanehan pada
sebagian aktifis dakwah lainnya, sehingga memancing munculnya sikap su`uzhzhan.
Medan dakwah
memang tidak mengenal kelas, strata sosial, atau segmen-segmen sosial lainnya.
Akan tetapi dakwah memerintahkan agar setiap Muslim apalagi juru dakwah
memegang prinsip-prinsip dasar Islam dengan teguh. Sebuah prinsip dakwah
mengatakan “nakhtalithuun walaakin natamayyazuun” (bercampur dan
berbaur, tapi tidak melebur).
Marilah
kita berlindung kepada Allah Swt. dari penyakit buruk sangka. Berdoalan
sebagaimana doa Muhammad bin Wasi’ setiap usai shalat Shubuh, “Ya Allah,
sesungguhnya Engkau menguasakan kepada kami musuh yang sangat jeli terhadap
aib-aib kami. Dia dan kawannya melihat kami, sedangkan kami tidak melihat mereka.
Ya Allah, kecewakan mereka dari kami sebagaimana Engkau telah kecewakan mereka
dari rahmat-Mu. Buatlah mereka berputus asa dari ampunan-Mu. Dan jauhkanlah
kami dengan mereka sebagaimana Engkau jauhkan mereka dengan rahmat-Mu.
Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar