Buruk Sangka

1 Okt 2012

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS Al-Hujurat: 12).

Ali bin Husain meriwayatkan, Shafiyah binti Huyai, istri Rasulullah Saw., memberitahukan kepadanya bahwa Nabi Saw. pernah  beri’tikaf di dalam masjid. Shafiyah bercerita, “Lalu aku mendatangi Nabi dan berbicara kepadanya. Setelah sore, aku pun kembali lalu Nabi Saw. berjalan bersamaku. Di tengah jalan kami berpapasan dengan dua orang lelaki Anshar sambil mengucapkan salam. Kedua lelaki itu terus berjalan, tetapi Nabi Saw. memanggil keduanya, lalu berkata, “Sesungguhnya dia adalah Shafiyah binti Huyai.” Kedua orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak berprasangka kepadamu, kecuali kebaikan.” Nabi Saw. bersabda, “
“Sesungguhnya syetan mengalir pada peredaran darah tubuh anak Adam, dan sesungguhnya aku khawatir syetan akan masuk pada kalian berdua” (HR Bukhari dan Muslim).
Salah satu bentuk kasih sayang Rasulullah Saw. kepada sahabat dan umatnya diungkapkan melalui kekhawatiran beliau akan munculnya sifat su`uzhzhan (buruk sangka) seorang Muslim kepada Muslim lainnya. Sebagai seorang rasul, beliau Saw. sangat memahami seluk-beluk kejiwaan manusia. Bahkan beliau bisa membaca kemunafikan seseorang melalui gerak-geriknya. Oleh karena itu, sebelum kedua lelaki itu terpedaya oleh bisikan syetan yang tipu dayanya sangat halus dan tidak terasa, beliau memanggil dan menasehati kedua sahabatnya itu agar tidak su`uzhzhan kepada sesama Muslim.
Su`uzhzhan adalah salah satu penyakit jiwa yang amat berbahaya karena dapat memecah belah persatuan dan kesatuan umat. Penyakit ini pernah melanda sebagian shahabat dalam peristiwa haditsul ifki (berita bohong) yang menyudutkan istri beliau, ‘Aisyah. Menurut berita itu, ‘Aisyah melakukan penyelewengan dengan Shafwan bin Mu’aththal ketika ia tertinggal dalam perjalanan perang untuk menghadapi Bani Mushthaliq.
Berita bohong itu sengaja disebarkan oleh Abdullah bin Ubay, tokoh munafik, yang tidak suka kalau pasukan Islam meraih kemenangan demi kemenangan. Seperti peredaran darah dalam tubuh manusia, berita itu pun cepat menyebar hingga menimbulkan keresahan di kalangan sahabat. Mereka saling curiga satu sama lain. Bahkan hampir saja terjadi perkelahian antara suku Aus dan Khazraj, kalau saja Rasulullah Saw. tidak meredamnya
Keluarga besar Abu Bakar ra., ayah ‘Aisyah, pun sempat dibuat kalang-kabut. Mereka dituduh seolah-olah tidak mampu mengajari anaknya dengan akhlak yang baik. Begitupun keadaan Nabi Saw. Tubuh beliau lunglai, seolah-olah baru saja menerima wahyu yang amat berat. Namun, kabut hitam itu pun berlalu dengan turunnya QS An-Nur: 11 yang mementahkan berita bohong tersebut.
Setelah wahyu turun, Rasulullah Saw. mengumpulkan para shahabatnya dan menjelaskan tentang berita bohong itu. Mereka menangis saling berangkulan dan saling meminta maaf atas peristiwa yang hampir saja menghancurkan mereka. Matahari kembali bersinar terang. Kehidupan kembali normal seperti biasa.
Larangan berburuk sangka dan dampak negatifnya bagi persatuan umat ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur`an al-Karim,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS Al-Hujurat: 12).

Jangan Memancing Seseorang untuk Su`uzhzhan.
Dalam kisah lain, Umar bin Khaththab ra. melewati seorang laki-laki yang sedang berbicara dengan seorang wanita di pinggir jalan. Umar lalu meneriaki kedua orang itu dengan kata-kata yang mengarah kepada perbuatan keji. Lelaki itu berkata, “Wahai Amirul Muslimin, sesungguhnya dia itu adalah istriku.” Umar ra. berkata, “Kalau begitu, mengapa kalian tidak mencari tempat yang tidak dilihat banyak orang?”
Lalu Umar ra. menambahkan,
 “Siapa menempatkan dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan, maka jangan mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya” (Said Hawwa, Mensucikan Jiwa, hal. 565).
Kisah ini hampir sama dengan kisah pertama di atas, akan tetapi memiliki hikmah yang berbeda. Hikmah dari kisah ini adalah setiap Muslim harus hati-hati dengan sikap atau perilaku yang mengundang su`uzh zhan dari Muslim lainnya. Setiap Muslim harus pandai-pandai menempatkan dirinya pada posisi yang tidak mengotori kebersihan dirinya sebagai orang beriman. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. menyuruh kita agar selektif dalam mencari teman bergaul. Su`uzhzhan adalah perbuatan buruk, akan tetapi memancing seorang Muslim untuk su`uzhzan kepada saudaranya juga sama buruknya.
Di abad yang dikatakan modern seperti sekarang ini, interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat boleh dikatakan sangat kompleks dan multidimensi. Frekuensi kontak sosial begitu intensif dalam spektrum yang amat luas. Dalam kondisi seperti ini, seorang Muslim harus mampu mengarahkan dan mengubah segala bentuk  komunikasinya dengan masyarakat menjadi komunikasi dakwah. Interaksi sosial yang dilakukannya dengan berbagai lapisan masyarakat harus diniatkan sebagai perluasan ladang dakwah.
Dalam ranah politik misalnya, seorang Muslim seharusnya mampu mengubah komunikasi politiknya menjadi komunikasi dakwah. Kalau tidak, maka segala tindak-tanduknya akan mengundang kecurigaan dari Muslim lainnya. Seolah-olah dia hanya memanfaatkan momentum politik untuk memenuhi kepentingan pribadinya.
Sekarang ini kita menyaksikan hampir sebagian besar tokoh politik di Indonesia menggunakan pendekatan politik kekuasaan dan politik uang dalam langkah-langkahnya. Mereka melakukan pertemuan untuk bargaining, deal, dan tawar menawar posisi. Masyarakat dibuat bingung. Karena dua orang tokoh politik yang dulunya bersaing dan saling menjatuhkan, tiba-tiba bertemu dalam satu meja untuk membuat kesepakatan “damai”.  Kalau tidak mendapatkan kekuasaan, uang pun jadilah.
Dalam suasana seperti itu, cara pandang masyarakat yang hitam putih, sulit membedakan, tokoh politik Muslim mana yang sedang melakukan komunikasi dakwah dan mana yang sedang melakukan tawar menawar jabatan. Kedekatan politisi Muslim yang dikenal bersih di masyarakat dengan politisi kotor tentu saja akan memunculkan desas-desus yang dapat membuat keretakatan di antara barisan kaum Muslimin.
Begitu juga dalam aspek seni dan budaya. Kedekatan seorang Muslim, apalagi juru dakwah, dengan kehidupan para selebritis misalnya, harus mampu dijelaskan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah dalam rangka mendakwahi mereka. Sehingga diharapkan kesenian dan kebudayaan tidak disimpangkan atau diselewengkan ke arah yang salah.
Dua kisah di atas mengajarkan kita pada sikap tawazun (seimbang). Setiap Muslim harus mengedepankan sikap husnuzhzhan (baik sangka) kepada Muslim lainnya, selama yang dilakukan Muslim tersebut bukan pekerjaan yang disepakati kemaksiatannya. Seorang penyair berkata, “Mata yang ridha mengabaikan setiap aib. Akan tetapi mata yang benci akan menampakkan segala keburukan.”
Sebaliknya, setiap Muslim harus hati-hati dalam melakukan langkah dakwahnya. Jangan sampai inovasi atau terobosan dakwah yang dilakukannya menimbulkan keanehan pada sebagian aktifis dakwah lainnya, sehingga memancing munculnya sikap su`uzhzhan. Medan dakwah memang tidak mengenal kelas, strata sosial, atau segmen-segmen sosial lainnya. Akan tetapi dakwah memerintahkan agar setiap Muslim apalagi juru dakwah memegang prinsip-prinsip dasar Islam dengan teguh. Sebuah prinsip dakwah mengatakan “nakhtalithuun walaakin natamayyazuun” (bercampur dan berbaur, tapi tidak melebur).
Marilah kita berlindung kepada Allah Swt. dari penyakit buruk sangka. Berdoalan sebagaimana doa Muhammad bin Wasi’ setiap usai shalat Shubuh, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau menguasakan kepada kami musuh yang sangat jeli terhadap aib-aib kami. Dia dan kawannya melihat kami, sedangkan kami tidak melihat mereka. Ya Allah, kecewakan mereka dari kami sebagaimana Engkau telah kecewakan mereka dari rahmat-Mu. Buatlah mereka berputus asa dari ampunan-Mu. Dan jauhkanlah kami dengan mereka sebagaimana Engkau jauhkan mereka dengan rahmat-Mu. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto