Kembali Kepada Al-Qur`an

23 Okt 2012


Bagi setiap Muslim, apalagi yang memiliki dan mengemban amanah dakwah, Al-Qur`an adalah bagian dari keseharian hidup mereka. Kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai anggota keluarga, dan sebagai anggota masyarakat dihadirkan setiap waktu untuk melakukan perbaikan. Karenanya, dengan diturunkan-Nya Al-Qur`an, kesadaran itu harus disatupadukan dan disinergikan. Pada kenyataannya Al-Qur`an secara fisik sudah ada di hadapan kita, bahkan di tangan kita, maka interaksi para da’i dan aktifis dakwah dengan Al-Qur`an pun sangat layak untuk selalu ditingkatkan. Apalagi bila dikaitkan dengan realita yang ada di masyarakat, di lingkungan gerakan dakwah, dan yang paling mencolok adalah realita yang ada di luar gerakan dakwah itu sendiri.
Begitu banyak perilaku yang menyimpang dari ajaran agama mendominasi kehidupan masyarakat, seperti pornografi, pornoaksi, korupsi, kriminalitas, narkoba, dan lain-lain. Sementara kebanyakan masyarakat hanya hadir di satu acara majelis taklim yang interaksinya dengan Al-Qur`an masih sangat rendah dan terbatas.
Dakwah harus dihadirkan dalam berbagai lapangan kehidupan, termasuk dalam bidang politik. Dakwah melalui partai politik, tampaknya mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Akan tapi, respons positif itu belum menandakan bahwa kegiatan dakwah yang merujuk kepada Al-Qur`an juga diapresiasi secara baik oleh publik. Fenomena itu terlihat ketika kebanyakan masyarakat kurang apresiatif dalam menyambut seruan Islam aplikatif. Masyarakat pun kerap masih mendikotomikan Islam dan politik, Islam dan ekonomi, Islam dan budaya.
Para da’i dan aktifis pun harus menyadari bahwa produktifitas dakwah sangat berkorelasi positif dengan interaksi mereka dengan Al-Qur`an. Dan produktifitas dakwah berbanding lurus dengan  kualitas dan kuantitas aktifis dakwah. Maka, bila kemudian terlihat fenomena produktifitas para da’i dan aktifis dakwah kurang signifikan terhadap peningkatan jumlah dan kualitas para pengikutnya, itu menandakan bahwa interaksi mereka dengan Al-Qur`an memang perlu ditingkatkan secara terus menerus.
Kontinuitas dan intensitas interaksi dengan Al-Qur`an harus mengiringi setiap tarikan napas, gerak, dan ayunan langkah, hingga menghadirkan pribadi yang makin Qur`ani, keluarga yang makin Qur`ani, dan bila itu terus dihadirkan, maka pribadi dan keluarga itu akan bisa diteladani oleh masyarakat dan akan menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk meninggalkan dan menolak baragam kemungkaran yang ada. Dan ini akan menjadi tenaga baru bagi aktifiis dakwah lainnya.
Dengan demikian, para aktifis dakwah yang interaksi Al-Qur`an-nya semakin dalam,  semakin luas, dan semakin aplikatif akan memberikan kontribusi yang semakin signifikan bagi hadirnya masyarakat yang makin mecintai gerakan dakwah ini. Karenanya, sesuai dengan kaidah faqidu syai` laa yu’thiihi, orang yang tidak memiliki tidak bisa memberi, maka interaksi para dai dan aktifis dakwah dengan Al-Qur`an merupakan sebuah kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar atau ditunda-tunda.
Al-Qur`an diturunkan Allah Swt. untuk umat manusia, sebagai petunjuk hidup, jalan yang lurus, dan cahaya yang menyinari kegelapan di dunia. Oleh karena itu, anugerah Allah tersebut harus dimaskimalkan oleh setiap da`i, aktifis dakwah, dan setiap Muslim. Ramadhan yang baru lalu telah memberikan motivasi kepada kita agar mereka tidak canggung lagi untuk berinteraksi lebih total lagi dengan Al-Qur`an, lebih produktif, dan lebih terdorong untuk bersegera melakukan amal shaleh. Ini adalah sebuah kesempatan emas yang tidak boleh dimubazirkan. Hanya saudara-saudara setanlah yang selalu memuzirkan kesempatan ini.
Al-Qur`an menegaskan bahwa seorang Muslim atau Mukmin bukanlah saudara setan. Seorang Mukmin adalah saudara Mukmin lainnya, dan karenanya mereka mempunyai kewajiban bersama untuk memaksimalkan interaksi dengan Al-Qur`an dalam setiap sisi kehidupannya.
Sudah begitu banyak buku tentang kaidah-kaidah berinteraksi dengan Al-Qur`an yang ditulis dan diterbitkan. Di antaranya karya Dr. Yusuf Al-Qaradhawi yang berjudul “Kaifa nata’aamalu ma’a al-Qur`ani al-‘Azhim?” yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Berinteraksi dengan Al-Qur`an”.
Begitu juga, sudah banyak fakta-fakta Al-Qur`an dihadirkan dan membawa kepada kebaikan, kedamaian, dan amal shaleh. Karenanya, tidak ada alasan untuk berlambat-lambat atau bermalas-malas untuk semakin banyak berinteraksi dengan Al-Qur`an, agar diri dan keluarga kita semakin ter-sibghah dengan Al-Qur`an, dan itu berarti kita sedang men-sibghah masyarakat dengan nilai-nilai Al-Qur`an yang membawa rahmat bagi kehidupan.
Semakin gerakan dakwah mendapat kepercayaan dari publik, semakin gerakan dakwah ini berinteraksi dengan masalah-masalah masyarakat, maka akan semakin meningkat pula keperluan kita akan pengetahuan tentang nilai nilai Al-Qur`an, agar kita tidak keliru dalam mengaplikasikan kegiatan-kegiatan dakwah pada tingkat operasional. Sehingga kita tidak terjebak pada perilaku ekstrimisme, arogansi, menang-menangan, takabur, atau sebaliknya terjebak pada perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur`an, misalkan perilaku gerakan takfir (mengkafirkan orang atau kelompok lain).
Baik ekstrimisme maupun takfir adalah dua hal yang dilarang Al-Qur`an dan tentu kita tidak akan mengikutinya. Sebab begitu kita berinteraksi dengan masyarakat, ketika kita diberi amanah yang makin luas dengan hasil pemilu legislatif, dan apresiasi publik yang positif terhadap sikap-sikap kita pada pilpres pertama dan kedua, itu pertanda kita memang tengah semakin intensif berinterksi dengan msyarakat. Dan kehidupan masyarakat yang begitu kompleks seringkali menghadirkan nuansa yang dapat membuat orang tidak sabar lalu terjebak pada sikap ekstrimisme, atau sebaliknya membuat sebagian aktifis dakwah memiliki sikap berlebihan, sehingga memunculkan sikap arogan dan takabur.
Arogansi dan ekstrimisme adalah sikap yang harus dihindari. Dan jalan untuk dapat terhindar dari kedua perilaku buruk tersebut adalah dengan mamahami Al-Qur`an secara utuh, kaffah (menyeluruh, komprehensif), dan integral.
Al-Qur`an dimulai dengan “iqra bismirabbikalladzi khalaq”. Ini bukan sekedar isyarat, akan tetapi sebuah perintah yang sangat jelas bagi kita untuk semakin meningkatkan kualitas diri, keluarga, lingkungan masyarakat, dan kualitas negara dengan manhaj (metode) yang telah diturunkan Al-Khaliq.
Kemudian di ujung sebuah kesuksesan ada “idzaa ja`a nashrullahi wal fathu, wa ra`aitan naasa yadkhuluna fii diinillah afwaaja, fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu, innahu kaana tawwaba”. Surat An-Nashr ini menghadirkan suatu kesadaran tangggung jawab moral dan tanggung jawab sosial yang sangat tinggi, serta kesadaran penuh bahwa kita adalah hamba Allah yang tidak boleh berlaku takabur, semena-mena, zalim, atau sebaliknya berlaku ekstrim yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama. Itu semua sangat diperlukan justru ketika kita semakin luas berinteraksi dengan capaian-capaian dakwah melalui kegiatan politik.
Dengan demikian, semakin luas interaksi kita dengan masyarakat, maka kebutuhan interaksi kita dengan Al-Qur`an semakin besar. Karena, pada hakikatnya Al-Qur`an diturunkan untuk seluruh kelompok masyarakat, apapun latar belakang sukunya, profesinya, bahkan latar belakang perilakunya. Kehadiran Al-Qur`an tentu tidak dalam rangka untuk menjustifikasi bagi keberlangsungan kemungkaran, karena memang Al-Qur`an melarang kemungkaran. Al-Qur`an diturunkan justru untuk menghilangkan kemungkaran dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara etik, ekonomi, intelektual, dan komunal.
Sudah sangat jelas bahwa salah satu tujuan utama dari dakwah adalah agar nilai-nilai Al-Qur`an terus berkembang di tengah-tengah masyarakat. Namun, pengembangan nilai-nilai Al-Qur`an itu tidak akan berhasil bila para da’i dan aktifis dakwah tidak memiliki materi (Al-Qur`an) untuk dikembangkan. Al-Qur`an adalah sebuah mata air yang tidak pernah akan kering dan selalu dibutuhkan kapan, dimana, dan oleh siapa saja. “Mata air” itu kini ada di hadapan kita, bahkan terjemahannya sudah dimudahkan dengan berbagai cara, termasuk dalam bentuk CD. Tinggallah kita mau memanfaatkannya atau tidak. Oleh karena itu, menjadi sangat tidak beralasan bagi setiap da’i dan aktifis dakwah untuk tidak berinteraksi lebih lanjut dengan Al-Qur`an.
Simaklah syair yang ditulis Al-Bushiri.
“Mahabesar Allah, sesungguhnya agama Muhammad dan kitab sucinya adalah kitab suci yang paling lurus dan paling teguh. Jangan sebut kitab-kitab suci lain di depannya. Karena, saat mentari pagi bersinar, ia akan memadamkan pelita-pelita.”
Al-Qur`an adalah “sang mentari pagi” sebagaimana ditegaskan Allah Swt. dalam firman-Nya. “ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu ...” (QS Al-Maidah: 48). Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto