Memakmurkan Masjid

13 Okt 2012

"Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka itu kekal di dalam neraka"  (QS At-Taubah: 17).
Pada ayat ini dengan jelas Allah Swt. mengatakan bahwa Dia tidak menerima amal perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, sekalipun secara lahir mereka seperti beribadah kepada Allah yaitu dengan memakmurkan masjid. Sangatlah tidak pantas kalau mereka ini menjadi orang yang memakmurkan masjid. Kenapa? Li anna al-’ibaadata ta’biiru ‘alal ‘aqidah (ibadah merupakan ekspresi daripada ‘aqidah seseorang). Artinya, kalau aqidah seseorang salah maka segala macam ibadah yang dilakukannya tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah SWT, sekalipun secara fisik ibadahnya kelihatan benar. Secara zhohir boleh saja mereka melakukan ibadah yang sama dengan yang dilakukan oleh kaum Muslimin. Kaum Muslimin bisa membangun, menyumbang dan memakmurkan masjid, orang kafir bisa melakukannya juga. Namun nilai yang mereka lakukan jelas berbeda dengan yang dilakukan oleh kaum Muslimin. Di mana letak perbedaannya? Letak perbedaannya adalah pada kebenaran ‘aqidahnya. Dalam Islam, ibadatun wa ‘aqiidatun musyari’ah (Islam meliputi ‘aqidah dan sekaligus syari’ah). Ini berarti pelaksanaan suatu syari’ah Allah tidak bisa dipisahkan dengan kualitas ‘aqidah yang dimiliki seseorang. Inilah yang menyebabkan apa pun amalan yang dilakukan oleh orang-orang kafir tidak diterima oleh Allah Swt.
Penjelasan Allah pada ayat ini berkenaan dengan orang-orang Ahli Kitab, dimana mereka jelas-jelas orang kafir. Bahkan dari perkataannya pun, mereka jelas-jelas mengatakan bahwa mereka kafir, sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam penggalan yang berbunyi syaahidiina ‘alaa anfisuhim bil kufr (sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir). Seperti apa perkataan bahwa diri mereka kafir? Ketika orang Yahudi ditanya tentang siapa mereka, maka jawaban yang mereka berikan “Ana Yahuudu (saya Yahudi)”, dan ketika orang Nasrani ditanya dengan pertanyaan yang sama, maka mereka menjawab “Ana Nasroni (saya Nasrani)”. Jawaban yang mereka berikan ini merupakan bukti bahwa mereka adalah orang yang musyrik. Ini berbeda dengan ketika seorang Muslim ditanya tentang siapa dirinya, tidak pernah jawabannya “Ana Muhammadiy (Saya penyembah Muhammad)”, akan tetapi jawabannya adalah “Ana Muslim”.
Ayat ini hendaknya memberikan kepekaan kepada kaum Muslimin, agar mereka tidak mudah tertipu oleh tampilan muka yang dilakukan oleh orang-orang kafir, karena Islam bukan hanya meliputi syari’ah, akan tetapi yang lebih penting adalah kebenaran ‘aqidah. Jangan sampai kaum Muslimin ditipu oleh perilaku orang yang sekedar pernah melaksanakan umroh, tertipu karena seseorang yang pernah melakukan puasa, dan lain sebagainya. Dan orang-orang musyrik seperti yang dijelaskan Allah Swt. tidak pantas menjadi orang yang memakmurkan masjid.
Jadi, kaum Muslimin yang mendapatkan legitimasi dari Allah sebagai orang yang berhak untuk memakmurkan masjid adalah yang mempunyai sifat sebagaimana yang disebutkan pada ayat ini, yaitu,
Pertama, man aamana billaahi wal yaumil aakhiri (orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian). Jadi sifat pertama yang disebutkan sebagai orang yang berhak untuk disebut mema’murkan masjid, dikaitkan dengan masalah ‘aqidah, yaitu orang yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari akhir. Tentang keimanan kepada Allah dan keimanan kepada hari akhir ini merupakan bukti yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain seperti binatang. Binatang hanya mengenal apa-apa yang sifatnya lahiriyah dan keduniawian saja, dan tidak pernah melihat sisi ukhrowi. Oleh karena itu pantas saja kalau ada binatang yang saling berhubungan dengan yang lainnya tanpa mengindahkan norma, karena memang demikianlah mereka. Akan tetapi kalau ada manusia yang perilakunya seperti binatang, maka derajatnya sama dengan binatang, bahkan lebih rendah lagi. Oleh karena itu Allah berfirman,
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai“ (QS Al-A’raf: 179).
Kedua, wa aqoomash sholaata (serta tetap mendirikan shalat). Jadi sifat kedua yang harus dimiliki oleh orang yang berhak untuk memakmurkan masjid adalah yang bisa tetap mendirikan shalat. Oleh karena itu jangan sampai ada kasus dimana seorang pengurus masjid dipilih dari orang yang sangat jarang shalat di masjid. Dia datang ke masjid kalau ada peringatan hari besar Islam saja, seperti peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj atau Nuzulul Qur’an, dan setelah peringatan tersebut selesai, maka menghilang lagi. Orang seperti ini tidak patut untuk menjadi pengurus masjid karena ia bukan aktivis masjid.
Dan dalam memilih orang untuk menjadi pengurus masjid, sebaiknya kita jangan menghalalkan segala cara. Kadang-kadang ada sebagian orang yang menunjuk seseorang untuk menjadi ketua pengurus masjid bukan karena dia seorang yang aktif untuk selalu meramaikan masjid dengan shalat berjamaah dan kegiatan lainnya, akan tetapi dipilah hanya karena dia orang berpangkat atau orang yang terpandang di masyarakat. Kita jangan sampai berbuat seperti ini, karena kalau demikian berarti kita telah menghalalkan segala cara dalam memilih pengurus masjid. Dan cara seperti ini jelas telah menyalahi aturan Allah, karena pada ayat ini Allah Swt. mensyaratkan orang yang berhak memakmurkan masjid adalah orang yang senantiasa menegakan shalat.
Penegasan Allah ini sekaligus memberikan pemahaman kepada kita agar ijtihad kita jangan sampai bertentangan dengan nash yang terdapat dalam Al-Qur’anul Karim. Dalam melaksanakan da’wah, jangan sampai bertentangan dengan fiq-hul ahkam. oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang kita ambil dalam da’wah jangan sampai bertentangan dengan ketentuan Allah Swt., baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang terdapat dalam sunnah Rasulullah Saw. Bahkan pada ayat ini Allah mengatakan masalah ini dengan kata innama (hanyalah). Jadi hanya orang yang mempunyai sifat yang disebut dalam ayat ini sajalah yang berhak untuk memakmurkan masjid.
Ketiga, sifat yang harus dimiliki oleh orang yang memakmurkan masjid adalah sholaata wa aataz zakaata (dan yang menunaikan zakat). Memperhatikan masalah zakat ini sangat penting, karena ini menyangkut upaya untuk senantiasa membersihkan diri dari berbagai macam kekotoran hati, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah,
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS At-Taubah: 103).
Keempat, walam yakhsya illallaah (dan tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah). Penggalan ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang aktivis masjid adalah orang yang kehidupannya penuh dengan ‘izzah. Kenapa? Karena ia tidak takut kepada siapa pun kecuali hanya kepada Allah Swt. Seorang aktivis masjid bukanlah orang yang senang merengek-rengek dan meminta-minta, akan tetapi orang yang mempunyai ‘izzah robbaniyyah, yang mempunyai gengsi robbani, yang dipenuhi dengan berbagai kemuliaan karena senantiasa berafiliasi dengan aturan-aturan Allah Swt. Oleh karena itu tidak pantas seorang aktivis masjid menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Jadi ada empat sifat yang harus dimiliki oleh orang yang berhak untuk memakmurkan masjid, yaitu beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, menegakkan shalat, membayar zakat dan orang yang tidak takut selain kepada Allah Swt. Kalau ada orang yang senantiasa meramaikan kegiatan di masjid seperti selalu shalat berjamaah di masjid dan juga meramaikan kegiatan masjid lainnya, maka ia mendapatkan legitimasi dari Allah Swt. bahwa dia memang benar-benar termasuk orang yang beriman.
Nilai seorang Muslim bergantung pada sejauh mana ia mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupannya. Jadi kemuliaan seorang Muslim bukan ditentukan oleh banyaknya ilmu yang dimilikinya, atau banyaknya kekayaan yang dikumpulkannya, atau karena ketenarannya di masyarakat. Hamba Allah Swt. yang selalu shalat berjamaah di masjidlah, yang mendapatkan kesaksian dari Rasulullah Saw. bahwa keimanannya benar. Oleh karena itu ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan Allah yang berbunyi fa ‘asaa ulaa-ka an yakuunuu minal muhtadiin (maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk). Dari penutup ayat ini bisa kita simpulkan bahwa indikasi daripada aorang yang mendapatkan hidayah Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat, membayar zakat dan ia tidak takut selain kepada Allah Swt. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto