ZUHUD

18 Okt 2012

“Allah berfirman: "Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”

(QS Al-A’raf: 144).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa setelah Allah Swt. memilih dan melebihkan Musa As. atas semua manusia, Allah Swt. menegaskan agar Musa As. menerima segala apa yang telah diberikan Allah kepadanya dan tidak memohon sesuatu yang bukan bagiannya dan tidak akan sanggup dipikulnya. Semua yang diberikan Allah kepada Musa As. adalah sesuatu yang besar dan utama. Tidak ada yang lebih baik dan lebih besar dari apa yang telah diberikan Allah menurut rahmat dan kebijakan-Nya.
Secara substansial, ayat ini mengandung makna zuhud dalam arti yang sangat luas dan mendalam. Sebab, sebagaimana dikatakan para ulama salafush shalih, zuhud ada tiga macam. Pertama, zuhud terhadap kemusyrikan (penyimpangan aqidah) dan dalam beribadah, yaitu dengan tidak beribadah, kecuali hanya kepada Allah Swt. Kedua, zuhud terhadap hal-hal yang diharamkan. Ketiga, zuhud terhadap barang halal. Dua yang pertama adalah wajib, sedangkan yang ketiga bukanlah sesuatu yang wajib.
Diceritakan oleh Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi Ra., seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku melaksanakannya, maka Allah dan manusia mencintaiku.” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Zuhud-lah kamu terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan zuhud-lah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, Thabrani, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Hadits ini mencakup dua wasiat yang sangat agung dari Rasulullah Saw.; pertama, zuhud terhadap dunia yang menyebabkan kecintaan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Kedua, zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain, yang membuahkan kecintaan dan penghormatan dari orang lain.
Dalam Islam, seseorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan kemenangan, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali bila meraih cinta dari Allah dan kasih sayang serta penghargaan dari manusia.
Kecintaan Allah kepada manusia adalah keridhaan dan kebaikan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Sedangkan kecintaan manusia kepada seseorang merupakan suatu kecenderungan yang tumbuh secara alami dan spontan. Karena tumbuhnya kecintaan manusia itu merupakan akibat logis dari kecintaan Allah kepada orang tersebut. Karena bila Allah Swt. mencintai seseorang, maka Allah akan menyusupkan rasa cinta dan kasih sayang manusia kepada orang itu. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya,
 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang” (QS Maryam: 96).
Secara bahasa, zuhud berarti menolak sesuatu karena sesuatu tersebut dianggap remeh. Sedangkan secara syar’i, zuhud adalah mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris al-Khaulani Ra., diriwayatkan oleh Imam Ahmad berkata, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi, zuhud terhadap adalah lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka ia sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bias menambah dan menyimpan pahalanya.”
Melalui definisi ini, maka pada dasarnya zuhud memiliki tiga hal penting, dan ketiganya merupakan amalan hati. Oleh karena itu, Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Orang yang zuhud tidak dapat dilihat, karena zuhud tempatnya di hati.” Ketiga hal tersebut adalah:
Pertama, lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada yang ada di tangan kita. Sikap seperti ini lahir dari keayakinan yang benar dan kuat bahwa Allah Swt. akan selalu menjamin serta memberi rezki kepada hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (QS Hud: 6).
Kedua, jika seseorang mendapat musibah, seperti hilangnya harta benda, meninggalnya anak, dan lain-lain, maka ia lebih menyenangi pahala dari musibah yang menimpanya ketimbang kehilangan apa yang ada di sisinya. Sikap seperti ini pun hanya bisa tumbuh dari keyakinan yang sempurna. Ibnu Umar meriwayatkan sebuah doa dari Rasulullah Saw.,
“Ya Allah, berikanlah kami rasa takut yang dapat menghalangi kami berbuat maksiat kepada-Mu; ketaatan yang dapat menumbuhkan kecintaan kepada-Mu; dan keyakinan yang dapat menjadikan kami menganggap remeh berbagai musibah duniawi.”
Ketiga, pujian dan celaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh kepada kebenaran, dan ini merupakan tanda dari sikap zuhud terhadap dunia.
Jadi, meski zuhud letaknya di hati, akan tetapi ekspresi zuhud sesungguhnya dapat dilihat pada sikap yang ditampilkan seseorang dalam menapaki kehidupan sehari-hari.

Cara Meraih Sikap Zuhud
Pertama, selalu memikirkan dan merenungi akhirat dan semua yang berkaitan dengan akhirat. Dengan begitu, hawa nafsu akan dapat dikendalikan, sehingga tidak terpedaya dengan dunia yang fana.
Kedua, selalu menghadirkan perasaan bahwa kenikmatan dunia dapat memalingkan hati dari dzikir kepada Allah dan dapat mengurangi derajat di sisi-Nya. Bahkan dapat memperlambat proses hisab di yaumil qiyamah, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah,
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (QS At-Takatsur: 8).
Ketiga, memahami sepenuhnya bahwa dunia adalah perkara yang tidak ada harganya dan akan cepat sirna, jika dibandingkan dengan apa yang ada di sisi Allah Swt. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa timbangan dunia tidak lebih dari sayap nyamuk.
Keempat, selalu menghadirkan perasaan bahwa dunia adalah terkutuk. Rasulullah Saw. bersabda, “Dunia adalah terkutuk, dan terkutuk juga apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan segala sesuatu yang mengiringi dzikir itu, atau orang yang memiliki ilmu dan orang yang mau belajar” (HR Ibnu Majah).

Zuhud yang Keliru
Zuhud yang tidak benar adalah menolak semua jenis kenikmatan dunia dan tidak mau bersenang-senang sedikit pun dengan kenikmatan tersebut. Zuhud dalam pengertian ini dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang di Persia sebelum Islam. Pemikiran ini kemudia dianut oleh sebagian umat Islam ketika masa pemerintahan Abasiyah mulai melemah. Mereka mengenakan baju compang-camping dan tidak mau bekerja. Sedangkan hidupnya hanya menggantungkan dari sedekah orang lain. Dengan kondisi seperti itu mereka mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang zuhud. Padahal Islam sama sekali tidak menghendaki sikap negatif yang membawa kehancuran seperti itu.

Teladan dari Rasulullah Saw. dan Sahabat
Rasulullah Saw. orang yang paling zuhud terhadap segala kenikmatan dunia demi mencari bekal akhrat, padahal beliau dijamin masuk surga. Sikap ini kemudian ditiru oleh para sahabatnya, sehingga mereka pun menjadi orang-orang yang patut dijadikan teladan bagi orang-orang yang berusaha bersikap zuhud.
Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang bertanya, “Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah Saw., Abu Bakar Ra., dan Umar Ra. Sambil balik bertanya, “Bukankah kalian bertanya tentang mereka?”
Abu Sulaiman berkata, “Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang harta dari sejumlah gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfaqkan harta tersebut dalam rangka menaati Allah dengan hati dan ilmunya.
Memang wajar mereka mendapat predikat seperti itu, karena mereka telah mendapatkan harta yang melimpah, tapi semua hartanya itu digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka infaqkan demi kepentingan Islam dan tegaknya Kalimatullah di muka bumi.
Allah Swt. mencintai orang-orang yang zuhud, karena hati dan pikiran mereka tidak disibukkan oleh hiruk-pikuk dunia. Rasulullah Saw. bersabda, “Hubbud dun-ya (cinta dunia) adalah pangkal setiap kesalahan dan dosa.”
Orang-orang zuhud juga dicintai manusia, karena mereka yang zuhud pasti akan mudah melepaskan apa yang ada di genggamannya demi membantu sesama manusia dan mengharap ridha dari Allah Swt. Orang-orang zuhud tak pernah iri terhadap dunia yang ada di tangan orang lain, karena mereka paham bahwa dunia dan segala isinya adalah fitnah dan ujian semata. Seseorang dapat menjadi mulia dan sengsara lantaran dunia.
“Ya Allah, jadikanlah dunia di tanganku, tidak di hatiku.” Inilah doa Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah untaian doa yang panjang. “…Walaa taj’alid dun-ya akbara hammina…” (Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia sesuatu yang menguras perhatian kami). Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto